Senin, 27 Juni 2016

Psikologi Behavioristik

Psikologi Behavioristik

Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur subyek tunggal psikologi. Behaviorisme merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak).
Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme memandang pula bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah yang sungguh-sungguh objektif. Kaum behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka, semua peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi, sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif.

Teori behaviorisme memandang individu hanya dari jasmani dan mengesampingkan mental. Para penganut teori ini tidak mengakui adanya bakat, kecerdasan, minat, dan perasaan individu dalam proses belajar. Menurut mereka, belajar hanya untuk melatih refleks-refleks sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Seseorang sudah dianggap belajar apabila ada perubahan kebiasaan atau perilaku dirinya.

Ada tiga konsep penting dalam psikologi behaviorisme ini, antara lain :
  1. Stimulus/ rangsangan;
  2. Respon;
  3. Penguatan (reinforcement)

Dalam mekanisme belajar berdasarkan behaviorisme, input yang diberikan berupa stimulus/rangsang yang diberikan oleh pendidik/guru, akan menghasilkan output berupa respon hasil dari tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan. Proses yang terjadi selama pembelajaran tidak terlalu penting karena tidak bisa diamati dan diukur.
PRINSIP DASAR BEHAVIORISME
  • Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
  • Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
  • Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
  • Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
  • Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.



Perspektif Behaviorisme Menurut Beberapa Tokoh Psikologi

Thorndike (1874-1949)
Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon (Teori Konektivisme). Teori ini sering pula disebut “trial and error learning”. Stimulusnya adalah semua yang merangsang terjadinya kegiatan belajar yang dapat ditangkap oleh indera, dan responnya adalah reaksi yang muncul saat belajar berlangsung.

Beliau melahirkan hukum-hukum belajar, yaitu :

  1. Law of Effect  (hukum akibat)
Jika respon yang dihasilkan menghasilkan efek memuaskan, maka hasil interaksi stimulus-respon makin kuat, berlaku juga untuk sebaliknya.

  1. Law of Readiness (hukum kesiapan)
Asumsi kesiapan menurut hukum ini yaitu kepuasan organisme berasal dari pendayagunaan satuan pengantar. Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan bahwa organisme akan terdorong untuk “do or don’t do it”.

  1. Law of Exercise (hukum latihan)
Hubungan stimulus-respon akan makin kuat jika sering berlatih; begitu pula sebaliknya.

Ivan Pavlov

Psikolog asal Rusia ini mengemukakan hukum belajarnya sendiri, yaitu :
  1. Law of Respondent Conditioning
Jika dua stimulus dihadirkan secara stimultan (salah satunya berfungsi sebagai reinforcer ), refleks dan stimulus lain akan meningkat.
  1. Law of Extinction
Jika refleks yang sudah diperkuat oleh hukum Respondent Conditioning tanpa ada reinforcer, kekuatannya akan menurun.

B.F. Skinner

Beliau berpendapat bahwa konsep tentang belajar adalah hubungan stimulus-respon (S-R) lewat interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan tingkah laku, tidak sesederhana pendapat tokoh-tokoh di atas.

Pertama, respon yang diterima tidak sesederhana itu; stimulus-stimulus saling berinteraksi , selanjutnya akan timbul pengaruh terhadap respon yang diberikan, Akhirnya, muncullah konsekuensi.

Kedua, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Ia bukan agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan/suatu poin yang factor-faktor lingkungan dan hereditas yang khassecara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut.

Beliau menguraikan pula mengenai sejumlah teknik yang digunakan untuk mengontrol perilaku, antara lain sebagai berikut :
  1. Pengekangan fisik (physical restrain)
Menurut Skinner, kita dapat mengontrol perilaku melalui pengekangan fisik. Contohnya, beberapa orang menutup mulut untuk menghindari diri dari menertawakan kesalahan orang lain.
  1. Bantuan fisik (physical aids)
Kadang-kadang orang menggunakan obat-obatan untuk mengontrol perilaku yang tidak diinginkan. Contohnya, seorang supir truk mengonsumsi obat perangsang agar tidak mengantuk saat menempuh perjalanan jauh.
Bantuan fisik juga digunakan untuk memudahkan perilaku tertentu,yang bisa dilihat pada orang yang memiliki masalah penglihatan dengan cara memakai kacamata.
  1. Mengubah kondisi stimulus (changing the stimulus conditions)
Suatu teknik lain adalah mengubah stimulus yang bertanggung jawab. Misalnya, orang yang menderita obesitas menyingkirkan sekotak coklat di hadapannya sehingga dapat mengekang diri.
  1. Memanipulasi kondisi emosional
Skinner menyatakan bahwa kita terkadang mengadakan perubahan emosional dalam diri kita untuk mengontrol diri. Misalnya, melakukan meditasi untuk mengatasi stress.
  1. Melakukan respon-respon lain
Menurut Skinner, kita juga sering menahan diri untuk melakukan perilaku yang membawa hukuman bagi orang lain.
  1. Menguatkan diri secara positif
Salah satu teknik yang kita gunakan untuk mengontrol perilaku menurut Skinner adalah menghadiahi diri sendiriatas perilaku yang patut dihargai.
  1. Menghukum diri sendiri
Artinya, seseorang mungkin menghukum diri sendiri karena gagal mencapai tujuan diri.




Daftar Pustaka

www.edus.web.id/2010/12/teori_behavioristik_paud.html
http://rumahbelajarpsikologi.com
http://psikologi.or.id/psikologi-umum-pengantar/aliran-behaviorisme.htm

Selasa, 19 April 2016

Psikoanalisis

PSIKOLOGI ANALISIS

Prespektif dasar dari psikoanalisis adalah bahwa tingkah laku orang dewasa merupakan refleksi (penjelmaan) pengalaman masa kecilnya. Teori ini menekankan bahwa orang bergerak melalui suatu tahapan (stage) yang pasti selam tahun-tahun awal perkembangannya yang berhubungan dengan sumber-sumber kesenangan seksual (seksual pleasure). Tahapan ini ditandai dengan tahap oral, anal, phalik dan genital. Teori psikoanalisis juga memperkenalkan konsep ketidaksadaran sebagai bagian kepribadian, dimana terletak keinginan-keinginan, impuls-impuls dan konflik-konflik yang dapat mempunyai pengaruh langsung pada tingkah laku. Pada dasarnya tingkah laku individu dipengaruhi atau dimotivasi oleh determinan kesadaran maupun ketidak sadaran.
Teori psikoanalisis ini telah mengarahkan kerja para ahli psikologi sosial pada sejumlah topik tentang tingkah laku sosial yang diselidiki dalam arti proses-proses ketidaksadaran. Sebagai contoh, tingkah laku agresi dipandang sebagai suatu manifestasi pembawaan sejak lahir yaitu yang disebut sebagai instink mati dalam ketidaksadaran. Contoh lainnya, prasangka dalam kelompok minoritas dipandang sebagai konflik individu pada masa kecil dengan orang tuanya yang kaku (otoriter) yang kemudian dicerminkan dalam ketidaksukaannya pada orang-orang dewasa yang tidak mirip dengan dirinya.
Dalam kenyataannya para ahli psikologi sosial mengakui pengaruh yang relatif sedikit dari teori psikoanalisis. Disamping itu, teori psikoanalisis hanya dapat menggambarkan fakta tetapi tidak dapat dipakai sebagai predictor tingkah laku.
Psikoanalisis yang pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud memang merupakan teori yang kontroversial. Selain itu, orientasinya juga sangat individual. Oleh sebab itu, tidak semua teorinya relevan dengan yang dibicarakan tentang teori-teori psikologi sosial.
Tapi tidak dapat disangkal bahwa ada bagian-bagian dari teori Freud yang erat kaitannya dengan psikologi sosial, bisa menerangkan beberapa gejala psikologi sosial, bahkan disana sini ada beberapa pandangan Freud yang didasari pada hal-hal yang bersifat sosial budaya.
Teori Freud memang sulit dipahami. Alasan yang pertama adalah konsepnya berubah-ubah (berkembang) terus. Alasan kedua adalah psikoanalisis bukan hanya berfungsi sebagai teori, tapi sekaligus juga teknik terapi dan teknik analisis kepribadian manusia. Alasan ketiga khususnya dalam psikologi sosial, Freud sendiri tidak banyak menulis tentang psikologi kelompok. Untuk memahami teori Freud tentang psikologi kelompok.
Konsep-konsep Freud dalam psikoanalisis. Aparat-aparat psikis menurut Freud dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu libido, struktur kejiwaan, dan struktur kepribadian.
a. Libido
Libido adalah energi vital. Energi vital ini sepenuhnya bersifat kejiwaan dan tidak boleh dicampurkan dengan energi fisik yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan biologis, seperti lapar dan haus. Freud mengatakan bahwa energi vital ini bersumber pada seks. Namun, seks disini ia artikan sangat berbeda dari artinya yang biasa dikenal sehari-hari.
Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan sejumlah insting (naluri). Insting-insting itu dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu insting hidup (life instinct) dan insting mati (death instinct). Insting hidup adalah naluri untuk mempertahankan hidup atau keturunan, sedangkan insting mati adalah naluri yang menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang itu akan mati. Freud tidak memberikan nama-nama khusus pada energi-energi yang bersumber pada insting mati ini, hanya dikatakannya bahwa insting ini menyebabkan prilaku-prilaku agresif. Namun, tentang insting hidup jelas dinyatakannya sebagai insting seksual dan energi-energi yang berasal dari insting seksual inilah yang disebutnya libido.
Insting-insting seksual mula-mula memang berkaitan dengan bagian-bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh itu disebutnya daereah-daerah erogen (erogenous zones), yaitu mulut, anus (pelepasan) dan alat kelamin. Namun, dengan berkembangnya sistem kejiwaan manusia, rasa puas atau ketegangan-ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah erogen ini lama-kelamaan terlepas dari kaitannya dengan tubuh dan menjadi dorongan-dorongan yang berdiri sendiri.
b. Struktur Kejiwaan
Jiwa oleh Freud dibagi dalam tiga bagian, yaitu kesadaran (consciousness), prakesadaran (preconsciousness) dan ketidaksadaran (unconsciousness).
Kesadaran adalah bagian kejiwaan yang berisi hal-hal yang disadarinya, diketahuinya. Fungsi kesadaran diatur oleh hukum-hukum tertentu yang dinamakannya “proses sekunder”, yaitu logika. Kesadaran jiwa berorientasi pada realitas dan isinya berubah terus. Isi kesadaran terdiri dari hal-hal yang terjadi di luar maupun di dalam tubuh seseorang.
Prakesadaran adalah bagian kejiwaan yang berisikan hal-hal yang sewaktu-waktu dapat dipanggil ke kesadaran melalui asosiasi-asosiasi. Freud tidak memperinci proses yang terjadi pada prakesadaran dan bagian ini memang kecil perannya dalam sistem kejiwaan yang diajukannya.
Ketidaksadaran merupakan bagian yang terpenting dan paling banyak diuraikan dalam sistem kejiwaan Freud. Bagian ini berisi proses-proses yang tidak disadari, tetapi tetap berpengaruh pada tingkah laku orang yang bersangkutan. Proses yang tidak disadari itu dinamakan “proses primer” dan ditandai emosi, keinginan-keinginan (desire), dan insting. Realitas tidak mendapat tempat dalam kesadarannya.
Freud mengatakan bahwa pengertian tentang tingkah laku manusia yang overt (tampak mata) hanya dapat dicapai melalui penyimpulan yang benar tentang isi kesadaran.
c. Struktur kepribadian
Ada tiga sistem yang terdapat dalam struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego.
1. Id adalah sumber segala energi psikis. Jiwa seorang bayi yang baru lahir hanya terdiri dari id. Isinya adalah impuls-impuls yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan biologis dan impuls-impuls inilah yang mengatur seluruh tingkah laku bayi. Karena id merupakan sistem yang tidak di sadari, maka semua ciri ketidaksadaran berlaku buat id: amoral, tidak terpengaruh oleh waktu, tidak mempedulikan realitas, tidak menyensor diri sendiri dan bekerja atas dasar prinsip kesenangan.
Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak mempedulikan realitas, padahal obyek-obyek yang diperlukan untuk memenuhi impuls-impuls dari id terletak dalam realitas, maka id memerlukan suatu sistem yang dapat menghubungkannya dengan realitas (dunia nyata). Oleh karena itulah tumbuh sistem baru dalam jiwa bayi yaitu ego. Pertumbuhan ego sudah dimulai sejak awal pertumbuhan bayi, yaitu sejak bayi dikonfrontasikan dengan kenyataan bahwa realitas adalah suatu hal yang tidak bisa diperlakukan seenaknya saja.
Sumber energi ego berasal dari id. Dalam perkembangan selanjutnya, ego akan berdiri sendiri, terpisah dari id, tetapi sumber energinya tetap berasal dari id. Fungsi utama ego adalah menghadapi realitas dan menerjemahkan untuk id. Oleh karena itu, dikatakan bahwa ego berfungsi atas dasar prinsip realitas (reality principle).
2. Ego disamping bekerja atas dasar prinsip realitas, ego juga beroperasi atas dasar proses berpikir sekunder. Jadi, dalam menginterpretasikan realitas ego menggunakan logika. Selain itu, persepsi dan kognisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses sekunder tersebut. Dengan proses sekunder itu ego menguji realitas.
3. Superego adalah sistem moral dari kepribadian. Sistem ini berisi norma-norma budaya, nilai-nilai sosial, dan tata cara yang sudah diserap ke dalam jiwa. Superego merupakan perkembangan dari ego. Sifat superego sama dengan id, dalam arti tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat, tidak mempunyai sensor diri, serta mempunyai energi sendiri. Ia pun mengabaikan realitas, tetapi superego mempunyai fungsi yang bertentangan dengan id. Jika id berprinsip mencari kesenangan, superego mencari kesempurnaan (perfection). Demi kesempurnaan itu, superego berusaha menghambat impuls-impuls dari id sehingga tidak muncul dalam tingkah laku.
Superego terbentuk sebagai reaksi terhadap tata aturan masyarakat yang dihadapkan kepada anak oleh orang tua (atau tokoh orang tua) melalui mekanisme hukum dan ganjaran. Menurut Freud, terbentuknya superego paling dipengaruhi oleh komplek oedipoes. Dalam perasaan yang ambivalen yang terdapat pada anak laki-laki terhadap ayahnya (atau anak perempuan terhadap ibunya), yaitu pertentangan antara perasaan cinta dan benci, kagum dan takut, ingin meniru dan ingin mengingkari, terjadilah introjeksi (penerapan) nilai-nilai orang tua ke dalam jiwa anak. Nak tidak lagi mengendalikan perilakunya karena takut atau dilarang oleh orang lain, melainkan ia dihambat oleh perasaan malu dan rasa bersalah yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian, tujuan utama proses sosialisasi menurut Freud adalah pembentukan superego yang sehat. Orang yang tersosialisasi adalah orang menerima tata aturan masyarakat sebagai aturan-aturannya sendiri.
Superego mempunyai fungsi yang bertentangan dengan id, tetapi kehendak keduanya diketahui oleh ego. Tugas ego adalah menyusun strategi tingkah laku sedemikian rupa sehingga keinginan kedua pihak terpenuhi dan sekaligus sesuai dengan realitas. Kemampuan ego untuk menyeimbangkan energi-energi dari id dan dari superego sangat penting artinya bagi kepribadian. Kalau energi dari superego terlalu besar, maka orang yang bersangkutan akan menjadi selalu ragu-ragu, takut-takut, terkekang. Namun, jika energi id terlalu besar, maka akan kita dapati orang yang impulsive, seenaknya sendiri, mengabaikan tata aturan sosial.
Sumber: https://khuldy.wordpress.com/psikoanalisis/

Psikologi Humanistik

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisisala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
Sumber :
  • Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
  • en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_education
  • en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology
  • rumahbelajarpsikologi.com

Rabu, 27 Januari 2016

Diamond adalah biro konsultasi psikologi yang didirikan oleh 5 orang psikolog pada tahun 2015 di kota Depok, Jawa barat. Diamond konsultan bergerak dibidang psikologi sosial. Diamond konsultan meyakini bahwa setiap individu membutuhkan psikologi dalam seluruh aspek kehidupannya. Baik dalam dunia pendidikan, kehidupan pribadi maupun dalam organisasi. Biro konsultasi kami memiliki konsultan yang sudah profesional dalam bidangnya masing-masing dan masalah anda akan terjamin kerahasiaannya.


Untuk info lebih lanjut silahkan klik link di bawah ini 
http://diamondconsultan.blogspot.co.id/

Intan Faradina 
13512745
4PA04
Anggota kelompok:
Dzakiyyah N.K.D
Fahri Alfiansyah
Intan Faradina
Putri Oktaviani
Rr. Tantri